Saban hari, penulis sering menyempatkan diri untuk mengisi waktu dengan bermain catur bersama temannya waktu di Pondok dulu. Berbagai pengalaman-pengalaman baru dalam teknik bermain catur banyak penulis dapatkan. Dan di sisi lain, penulis juga tak pernah lupa untuk menyediakan sebuah pulpen dan buku tulis yang senantiasa menemaninya dimanapun penulis berada. Kebiasaan ini penulis sering lakukan waktu masih di Pondok dulu, sebab penulis sangat yakin bahwa setiap dinamika kehidupan pasti menyimpan banyak pelajaran yang amat berharga, termasuk dalam permainan catur. Namun entah kenapa kebiasaan “ditemanin” buku dan pulpen itu—sekarang—jarang penulis lakukan lagi. Kali ini, penulis bukan mau mendeskripsikan penyebab “kebiasaan baik” itu hilang, akan tetapi penulis akan mencoba menyesuaikan tulisan ini dengan judul yang di atas.
Pada dasarnya, semua ini bermula dari papan catur.
Penulis sangat tertantang ketika ia mendapati lawan main caturnya jauh lebih cerdik dibandingkan dengan penulis sendiri. Dari sini, penulis selalu termotivasi untuk mengalahkan lawan mainnya sebanyak mungkin. Dan alhamdulillah, “lawan main” itu sangat banyak penulis temukan di Pondok, bak jamur di musim hujan. Yah…, walaupun sebenarnya penulis lebih banyak kalah dengan mereka ketimbang menang, tapi sekali lagi, bagi saya (penulis), suatu permainan tidak akan hidup kalau jiwa pemainnya tidak hidup, dan nutrisi pembangkit jiwa itu adalah motivasi untuk menang. Penulis memang sangat menyadari bahwa dalam permainan pasti ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah, tapi selamanya hasrat untuk menang itu jauh lebih besar daripada hasrat untuk kalah. Dan hal itu, penulis miliki.
Ternyata, dari kumpulan-kumpulan kekalahan inilah penulis mulai mengambil pelajaran dan kemudian menetapkan suatu rumusan, setelah itu penulis transfer di atas lembaran buku tulisnya. Rumusan itu berbunyi: “Terkadang Emosi membutakan ketajaman mata akal”, dan rumusan kedua berbunyi: “Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan emas”.
Bagi pemain catur tulen, pasti akan sangat paham betul bahwa dalam permainan catur, istilah “melumat” dan “dilumat” adalah dua kata yang sering didapati dalam permainan tersebut. Bidak dilumat peluncur (Bishop), kuda (Knight) dilumat bidak, perdana menteri (Queen) melumat benteng (Rock), benteng melumat raja (King), dan sebagainya. Nah, ketika dalam permainan catur, secara psikologis, kita akan selalu ingin melumat pihak lawan setiap ada kesempatan untuk melumat. Karena pada umumnya, khususnya bagi penulis sendiri, unggul dalam segi kuantitas biji catur merupakan salah satu hal yang mendukung kemenangan, walaupun sebenarnya kepastian menang belum berada di dalam genggaman. Makanya, bermula dari paradigma inilah malapetaka—atau istilah umumnya kekalahan—itu terjadi.
Dari sekian banyak pengalaman bermain catur yang penulis miliki, hampir tidak ada kaidah bahwa “Banyaknya jumlah biji catur menjadi jaminan untuk menang dalam permainan tersebut.” Kadang juga penulis mengalami kekalahan walaupun dengan jumlah biji catur yang lebih banyak dari lawan, yang tentunya bukan lawan biasa dan paradigma yang penulis uraikan di atas masih penulis pegang teguh.
Menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang “hukum” melumat dan dilumat dalam permainan catur. Hal yang paling penulis soroti adalah adanya fenomena “Mementingkan kesenangan sesaat, dengan mengorbankan kesenangan abadi (menang)”. Saya pikir, nyaris kita semua sependapat bahwa ketika ada kesempatan melumat, maka tak ada lagi istilah selain melumatnya dengan sesegera mungkin.
Perlu diketahui, dalam literatur permainan catur, ibarat sebuah peperangan, mengorbankan beberapa “pasukan” adalah merupakan salah satu strategi yang sering digunakan dalam berperang untuk mendapatkan kemenangan (victory). Minimal dijadikan sebagai umpan untuk memancing lawan agar masuk ke dalam “perangkap” yang telah kita buat sebelumnya. Perang—dalam hal ini catur—adalah merupakan miniatur yang merepresentasikan medan perang berikut dengan komandan, panglima dan pasukan perangnya.
Banyak lawan main saya yang menerapkan strategi seperti itu. Dengan mengorbankan satu atau dua biji bidak caturnya, dia bisa mendapatkan perdana menteri (Queen) saya, atau minimal satu benteng (Rock) yang saya miliki. Hal ini bisa terjadi karena langkah-langkah berikutnya tidak saya pikirkan matang-matang terlebih dahulu sebelum saya menggerakkan biji catur disebabkan oleh desakan untuk “melumat” sudah tidak tertahankan lagi. Makanya, disinilah kaidah pertama itu terjadi, yang berbunyi: “Terkadang Emosi membutakan ketajaman mata akal.” Saya terlalu termakan “emosi” (kita ketahui bersama bahwa emosi bukan hanya marah akan tetapi senang, sedih, hasrat untuk “melumat” dan sebagainya adalah merupakan bentuk-bentuk pengekspresian emosi) yang menyebabkan saya sudah tidak berpikiran jernih lagi. Malahan saya terkadang kelabakan ketika mengetahui bahwa ternyata langkah saya tadi—melumat biji catur lawan—adalah merupakan sebuah “blunder” besar yang mengantarkan saya jauh dari kesenangan abadi (victory). Saya telah membayar mahal atas langkah saya tadi membeli kesenangan sesaat. Dari sinilah saya kemudian tersadar bahwa tidak ada kemenangan yang pasti dalam permainan catur, yang ada adalah kemenangan yang diusahakan. Dengan berusaha mensinergikan antara mata akal dan mata mata hati lalu menempatkannya selaku “komandan perang” di “medan perang.”
Jika kita mencoba untuk mengaitkannya dengan kehidupan nyata, maka kita akan menemukan adanya beberapa kaidah kehidupan yang mirip dengan kaidah catur yang telah penulis uraikan sebelumnya. Kita akan menyadari bahwa ternyata ada yang salah ketika telah memperturutkan emosi (hawa nafsu) kita dengan tanpa memperhitungkannya terlebih dahulu. Banyak orang yang mengalami hal demikian. Ketika mereka telah menikmati kesenangan sesaat yang efeknya juga sesaat, barulah muncul belakangan kesenangan abadi yang terlanjur dia lewatkan, dan pada saat yang berbarengan penyesalan pun datang menambah rasa bersalahnya setelah mengorbankan kesenangan abadinya demi mendapatkan kesenangan yang sifatnya hanya sesaat. Dari hal ini, kaidah yang berbunyi “Penyesalan selalu datang belakangan”, semakin memperlihatkan eksistensinya dalam jagad kehidupan manusia.
Namun, yang menjadi pertanyaan besar kemudian adalah apakah hanya dengan menyesal saja sudah cukup untuk mengobati luka kita setelah menjerumuskan diri kita sendiri ke dalam lubang besar dan dalam yang menyebabkan diri kita terluka? Jawabannya adalah TIDAK, sekali lagi TIDAK. “Menyesal” adalah bukan jawaban yang tepat untuk mengobati luka kita yang terlanjur menganga. Tak ada jawaban yang paling tepat selain kembali bangkit dari keterpurukan dengan merekonstruksi dan merefresh jalur kehidupan yang akan kita tempuh di hari esok, dengan menjadikan kesalahan yang kemarin sebagai referensi untuk kemudian dijadikan sebagai suatu kaidah hidup yang mana kalau melakukan hal yang demikian adalah salah, dengan melakukan hal yang demikian adalah hanya akan mendatangkan penyesalan dikemudian hari, dengan melakukan hal yang demikian adalah hanya akan membuat diri kita merasa bersalah, dan kaidah-kaidah yang lain.
Olehnya itu, bagi kita, yang mengklaim dan mengaku diri adalah orang Mukmin, amat tidak pantas jika “Menyesal” dijadikan sebagai jawaban mutlak atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Ingatlah Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surah Az-Zumar ayat 53 yang berbunyi: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya(hanya dosa syirik yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt). Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Wallahu A’lam Bisshawab []
Kepersembahkan buat mereke-mereka yang cerdas, yaitu orang-orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk “sebuah kehidupan yang hakiki” setelah kematiannya, kematian yang membuktikan kefanaan dirinya.Penulis sangat tertantang ketika ia mendapati lawan main caturnya jauh lebih cerdik dibandingkan dengan penulis sendiri. Dari sini, penulis selalu termotivasi untuk mengalahkan lawan mainnya sebanyak mungkin. Dan alhamdulillah, “lawan main” itu sangat banyak penulis temukan di Pondok, bak jamur di musim hujan. Yah…, walaupun sebenarnya penulis lebih banyak kalah dengan mereka ketimbang menang, tapi sekali lagi, bagi saya (penulis), suatu permainan tidak akan hidup kalau jiwa pemainnya tidak hidup, dan nutrisi pembangkit jiwa itu adalah motivasi untuk menang. Penulis memang sangat menyadari bahwa dalam permainan pasti ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah, tapi selamanya hasrat untuk menang itu jauh lebih besar daripada hasrat untuk kalah. Dan hal itu, penulis miliki.
Ternyata, dari kumpulan-kumpulan kekalahan inilah penulis mulai mengambil pelajaran dan kemudian menetapkan suatu rumusan, setelah itu penulis transfer di atas lembaran buku tulisnya. Rumusan itu berbunyi: “Terkadang Emosi membutakan ketajaman mata akal”, dan rumusan kedua berbunyi: “Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan emas”.
Bagi pemain catur tulen, pasti akan sangat paham betul bahwa dalam permainan catur, istilah “melumat” dan “dilumat” adalah dua kata yang sering didapati dalam permainan tersebut. Bidak dilumat peluncur (Bishop), kuda (Knight) dilumat bidak, perdana menteri (Queen) melumat benteng (Rock), benteng melumat raja (King), dan sebagainya. Nah, ketika dalam permainan catur, secara psikologis, kita akan selalu ingin melumat pihak lawan setiap ada kesempatan untuk melumat. Karena pada umumnya, khususnya bagi penulis sendiri, unggul dalam segi kuantitas biji catur merupakan salah satu hal yang mendukung kemenangan, walaupun sebenarnya kepastian menang belum berada di dalam genggaman. Makanya, bermula dari paradigma inilah malapetaka—atau istilah umumnya kekalahan—itu terjadi.
Dari sekian banyak pengalaman bermain catur yang penulis miliki, hampir tidak ada kaidah bahwa “Banyaknya jumlah biji catur menjadi jaminan untuk menang dalam permainan tersebut.” Kadang juga penulis mengalami kekalahan walaupun dengan jumlah biji catur yang lebih banyak dari lawan, yang tentunya bukan lawan biasa dan paradigma yang penulis uraikan di atas masih penulis pegang teguh.
Menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang “hukum” melumat dan dilumat dalam permainan catur. Hal yang paling penulis soroti adalah adanya fenomena “Mementingkan kesenangan sesaat, dengan mengorbankan kesenangan abadi (menang)”. Saya pikir, nyaris kita semua sependapat bahwa ketika ada kesempatan melumat, maka tak ada lagi istilah selain melumatnya dengan sesegera mungkin.
Perlu diketahui, dalam literatur permainan catur, ibarat sebuah peperangan, mengorbankan beberapa “pasukan” adalah merupakan salah satu strategi yang sering digunakan dalam berperang untuk mendapatkan kemenangan (victory). Minimal dijadikan sebagai umpan untuk memancing lawan agar masuk ke dalam “perangkap” yang telah kita buat sebelumnya. Perang—dalam hal ini catur—adalah merupakan miniatur yang merepresentasikan medan perang berikut dengan komandan, panglima dan pasukan perangnya.
Banyak lawan main saya yang menerapkan strategi seperti itu. Dengan mengorbankan satu atau dua biji bidak caturnya, dia bisa mendapatkan perdana menteri (Queen) saya, atau minimal satu benteng (Rock) yang saya miliki. Hal ini bisa terjadi karena langkah-langkah berikutnya tidak saya pikirkan matang-matang terlebih dahulu sebelum saya menggerakkan biji catur disebabkan oleh desakan untuk “melumat” sudah tidak tertahankan lagi. Makanya, disinilah kaidah pertama itu terjadi, yang berbunyi: “Terkadang Emosi membutakan ketajaman mata akal.” Saya terlalu termakan “emosi” (kita ketahui bersama bahwa emosi bukan hanya marah akan tetapi senang, sedih, hasrat untuk “melumat” dan sebagainya adalah merupakan bentuk-bentuk pengekspresian emosi) yang menyebabkan saya sudah tidak berpikiran jernih lagi. Malahan saya terkadang kelabakan ketika mengetahui bahwa ternyata langkah saya tadi—melumat biji catur lawan—adalah merupakan sebuah “blunder” besar yang mengantarkan saya jauh dari kesenangan abadi (victory). Saya telah membayar mahal atas langkah saya tadi membeli kesenangan sesaat. Dari sinilah saya kemudian tersadar bahwa tidak ada kemenangan yang pasti dalam permainan catur, yang ada adalah kemenangan yang diusahakan. Dengan berusaha mensinergikan antara mata akal dan mata mata hati lalu menempatkannya selaku “komandan perang” di “medan perang.”
Jika kita mencoba untuk mengaitkannya dengan kehidupan nyata, maka kita akan menemukan adanya beberapa kaidah kehidupan yang mirip dengan kaidah catur yang telah penulis uraikan sebelumnya. Kita akan menyadari bahwa ternyata ada yang salah ketika telah memperturutkan emosi (hawa nafsu) kita dengan tanpa memperhitungkannya terlebih dahulu. Banyak orang yang mengalami hal demikian. Ketika mereka telah menikmati kesenangan sesaat yang efeknya juga sesaat, barulah muncul belakangan kesenangan abadi yang terlanjur dia lewatkan, dan pada saat yang berbarengan penyesalan pun datang menambah rasa bersalahnya setelah mengorbankan kesenangan abadinya demi mendapatkan kesenangan yang sifatnya hanya sesaat. Dari hal ini, kaidah yang berbunyi “Penyesalan selalu datang belakangan”, semakin memperlihatkan eksistensinya dalam jagad kehidupan manusia.
Namun, yang menjadi pertanyaan besar kemudian adalah apakah hanya dengan menyesal saja sudah cukup untuk mengobati luka kita setelah menjerumuskan diri kita sendiri ke dalam lubang besar dan dalam yang menyebabkan diri kita terluka? Jawabannya adalah TIDAK, sekali lagi TIDAK. “Menyesal” adalah bukan jawaban yang tepat untuk mengobati luka kita yang terlanjur menganga. Tak ada jawaban yang paling tepat selain kembali bangkit dari keterpurukan dengan merekonstruksi dan merefresh jalur kehidupan yang akan kita tempuh di hari esok, dengan menjadikan kesalahan yang kemarin sebagai referensi untuk kemudian dijadikan sebagai suatu kaidah hidup yang mana kalau melakukan hal yang demikian adalah salah, dengan melakukan hal yang demikian adalah hanya akan mendatangkan penyesalan dikemudian hari, dengan melakukan hal yang demikian adalah hanya akan membuat diri kita merasa bersalah, dan kaidah-kaidah yang lain.
Olehnya itu, bagi kita, yang mengklaim dan mengaku diri adalah orang Mukmin, amat tidak pantas jika “Menyesal” dijadikan sebagai jawaban mutlak atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Ingatlah Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surah Az-Zumar ayat 53 yang berbunyi: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya(hanya dosa syirik yang tidak akan diampuni oleh Allah Swt). Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Wallahu A’lam Bisshawab []
Bumi Allah, Kaliurang 1 Rabi’ul Awwal 1929 H
Dari seseorang yang tidak ada apa-apanya di mata Allah, tapi dimata manusia, ia berusaha untuk menjadi orang yang ada apa-apanya, bukan hanya “apa adanya.”
Dari seseorang yang tidak ada apa-apanya di mata Allah, tapi dimata manusia, ia berusaha untuk menjadi orang yang ada apa-apanya, bukan hanya “apa adanya.”
0 comments:
Posting Komentar