"Apabila Anda bisa menjadi milik semua orang, buat apa menjadi milik sebagian orang. Namun, akan lebih baik bagi Anda jika menjadi milik sebagian orang daripada tidak menjadi milik siapa-siapa".
Kata-kata di atas hanya merupakan sepenggal kata hasil perenungan penulis dalam pencarian jati dirinya. Kalimat di atas adalah merupakan salah satu motivasi penulis untuk tetap meneruskan perjuangan, karena perjuangan seorang mukmin sejati tidak akan berhenti, dan tidak akan pernah berhenti sampai kedua kakinya menyentuh Syurga. Tapi itu bukan berarti bahwa setiap orang harus berpikiran seperti penulis, ini sepenuhnya hanya merupakan sebuah refleksi individu yang berusaha penulis ceritakan kepada para pembaca .
Penulis menyadari pula bahwa nantinya tulisan ini akan mengundang banyak interpretasi, yang tidak menutupkemungkinan akan berseberangan dengan ide penulis. Namun hal itu tidak akan menyurutkan semangat penulis untuk terus menulis dan memang bukanlah sebuah keharusan. Sebab, kalimat di atas bukanlah sebuah instruksi yang harus dikerjakan, bukan pula sebuah doktrin yang harus dianut, dan bukan pula sebuah "ayat" yang harus dihapal, melainkan hanya sebuah hembusan opini yang berusaha penulis ciptakan untuk menambah khazanah penulisan disamping sebagai karya yang meramaikan blog ini.
Lokus pembicaraan kali ini berkutat pada sesuatu yang menjadi motif dan tujuan utama sebagian besar manusia, motif yang seringkali memenuhi angan-angan manusia untuk bisa diwujudkan secepat mungkin. Apa itu? Ketenaran atau dalam bahasa lainnya ialah popularitas.
Sepintas lalu, ketika membaca bait per bait dari kalimat di atas, akan terlintas sebuah deskripsi yang menggambarkan bagaimana ambisi manusia dalam memenuhi keinginannya menjadi seseorang yang dibangga-banggakan dan dielu-elukan oleh banyak orang, hal ini kita temukan pada statemen pertama pada kalimat di atas. Pada pernyataan selanjutnya, Anda akan menemukan statemen yang agak bertentangan dengan pernyataan pertama, akan tetapi mengandung substansi yang sama. Substansinya ialah sama-sama ingin dimiliki orang. Letak perbedaannya ialah pada cakupan besarnya atau banyaknya manusia yang menjadi "obyek garapannya".
Namun, bagi seorang Muslim, yang menjadi hal urgen bukanlah seberapa banyak orang yang mengenang dirinya dan bukan pula seberapa dalam ia dicintai oleh orang lain, tetapi seberapa jauh ia mampu mendistribusikan keshalehannya kepada orang lain dan seberapa lama efek yang ditimbulkan oleh usaha pendistribusian keshalehannya itu. Jadi, unsur pertama yang harus disamakan ialah niat. Penulis pikir, adalah merupakan suatu hal yang tidak relevan jika seorang Muslim, apalagi calon pahlawan mukmin sejati menjadikan popularitas sebagai tujuan akhir dari perjuangannya. Perlu diketahui bahwa popularitas hanyalah merupakan tujuan yang semu dan sifatnya jangka pendek, popularitas hanyalah merupakan salah satu dari sekian banyak sarana untuk menyebarluaskan dakwah Islam di permukaan bumi ini, sekali lagi, bukan sebuah tujuan. Selaku umat Muslim, tujuan utama kita di dunia ini ialah membekali diri sebanyak mungkin dengan amalan-amalan yang berbobot, yang nantinya akan mengantarkan kita memenangkan "tropi" yang telah dijanjikan Allah kepada setiap hamba-Nya yang pantas untuk menerima tropi itu. Tropi tersebut tak lain adalah Jannatullah.
Tak bisa dipungkiri bahwa di tengah-tengah hiruk pikuk fatamorgana dunia dan euforia yang semakin ramai, tanpa disadari telah banyak membius segelintir orang yang masih lemah dan belum memiliki dasar yang kuat, untuk sesegera mungkin memenuhi ambisi mereka menjadi orang yang terkenal, bagaimanapun caranya. Kemudian, hal tersebut semakin diperkuat lagi dengan adanya anggapan bahwa ketika seseorang sudah terkenal, maka segala fasilitas dan kebutuhannya akan terpenuhi. Padahal, kalau ditinjau dari cara mereka mendapatkan kepopulerannya, sangat jauh sekali dari tuntunan Islam. Mengapa hal ini terjadi? Karena kesadaran akan sebuah tujuan hidup belum terhujam dengan kuat di dalam diri seseorang yang hanya mengejar popularitas semata. Terus, anggapan yang mengatakan bahwa "dengan kepopuleran segala sesuatunya akan dengan mudah didapatkan", masih menjadi sebuah "rumus" dalam "kamus" hidup mereka. Padahal anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Kita lihat saja bagaimana seorang artis yang kita jadikan sebagai representasi kepopuleran menjadi bulan-bulanan para pemburu berita dan paparazzi yang selalu menghantui hidup mereka bahkan sampai kepada urusan pribadi mereka. Contoh lain, ketika seorang pejabat telah dikenal luas oleh masyarakat, tapi karena ia berbuat kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja, maka mediapun akan menjadikan berita itu sebagai headline dalam pemberitaan mereka, dan perlu diketahui bersama bahwa media dalam membahasakan sebuah berita, jangankan berupa fakta, yang baru sekedar issupun mereka beritakan bak sesuatu yang sudah benar-benar terjadi. Fenomena ini jelas sekali kita dapati, melihat sumber mata pencaharian mereka ialah berita, terlebih lagi ketika berita tersebut masuk ke dalam kategori berita "hot" yang masih sangat santer untuk dibicarakan publik. Inilah contoh tentang bagaimana seorang publik figur yang hanya sekedar menjadi bulan-bulanan para pemburu berita, dan menjadi buah bibir masyarakat luas. Setidaknya, dengan dua contoh di atas diharapkan dapat menepis dan mengcounter anggapan miring tentang efek dari popularitas.
Seyogyanya, bagi para pahlawan mukmin sejati menjadikan popularitas sebagai sarana untuk melakukan penitrasi nilai-nilai ke-Islam-an ke dalam masyarakat tempat ia berinteraksi. Jadi, ketika potensinya ialah mampu menancapkan pengaruh ke dalam masyarakat luas yang heterogen, maka ia jangan sekali-kali menjadi "penggarap" dalam masyarakat kecil yang homogen. Inilah makna yang terkandung dalam statemen pertama dari kalimat di atas, yang berbunyi: "Apabila Anda bisa menjadi milik semua orang, buat apa menjadi milik sebagian orang". Tetapi, kalau Anda dianugerahi potensi yang hanya bisa menggarap "lahan yang kecil" dalam hal ini masyarakat, maka jangan sekali-kali memaksakan diri Anda untuk "menggarap lahan" yang lebih luas, yang Anda sama sekali tidak memiliki potensi di dalamnya. Inilah makna yang terkandung dari statemen kedua dari kalimat di atas yang berbunyi: "Namun, akan lebih baik bagi Anda jika menjadi milik sebagian orang daripada tidak menjadi milik siapa-siapa". Coba bayangkan saja bagaimana apabila seekor kancil memaksakan dirinya untuk bisa berenang, dan seekor ikan yang memaksakan dirinya untuk bisa berlari. Wallahu 'Alam []
Dinginnya malam Kaliurang, March 15th 2007
The White Mask
The White Mask
0 comments:
Posting Komentar