Fatamorgana dunia yang dari hari ke hari semakin menyilaukan, membuat orang-orang yang telah lama disilaukan menjadi buta terhadap berbagai macam kenyataan-kenyataan hidup yang memang sudah lama tidak tersentuh oleh manusia. Belum lagi ketika kita berbicara kebenaran, maka niscaya kita akan menemukan sebuah fakta yang tidak jauh beda dengan kenyataan-kenyataan hidup di atas, bahkan “nasib” kebenaran jauh lebih tragis. Dibandingkan dengan “kenyataan hidup”, “kebenaran”, selain tidak tersentuh oleh manusia, juga mengalami perlakuan yang tidak pantas, yakni keinginan untuk mengetahui kebenaran sudah tidak semarak lagi, malahan dari hari ke hari semakin terkikis oleh arus “ketidakbenaran” yang memang melancarkan “serangan” sporadis.
Dengan fenomena yang terjadi di atas, ketidakbenaran telah menghegemoni tatanan hidup umat manusia. Tidak pandang bulu, bahkan sampai kepada orientasi hidup manusia juga didominasi oleh ketidakbenaran. Padahal, ajaran Islam telah menggariskan bahwa satu-satunya orientasi hidup jangka panjang manusia adalah kehidupan akhirat, dan salah satu reward yang paling ditunggu-tunggu adalah bertemu langsung dengan Zat yang telah menciptakan dan mengatur alam semesta beserta seluruh komponen-komponen yang ada di dalamnya, Zat yang telah menghidupkan dan mematikan seluruh makhluk hidup yang pernah dan akan ada di alam ini. Alangkah luar biasanya reward yang telah dijanjikan oleh Allah swt kepada hamba-Nya yang benar-benar dengan sepenuh hati menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi segala macam larangan-Nya.
Ada sebuah fakta yang tak terbantahkan kaitannya dengan tendensi-tendensi manusia yang sifatnya fitrawi, yang dalam waktu bersamaan pula menjadi inti permasalahan yang paling memengaruhi kehidupan manusia. Adapun tendensi-tendensi tersebut—yang secara instingtif ditakdirkan sebagai obsesi besar manusia—ialah wanita, bisnis (uang), politik (kekuasaan), dan perang. (Anis Matta, Dari Gerakan Menuju Negara, hal 117-118)
Menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian secara mendalam tentang keempat hal yang telah disebutkan di atas. Namun, pada kesempatan kali ini, saya hanya sedikit mengupas satu dari empat kecenderungan-kecenderungan manusia yang telah disebutkan sebelumnya. Kecenderungan yang saya pilih adalah WANITA.
Alasan saya memilih wanita sebagai pembahasan bukan karena wanitalah yang menjadi obsesi terbesar di antara obsesi-obsesi lain di atas, sebab keempatnya relatif memiliki daya tarik dan daya ikat yang sama kuat, sehingga orang yang telah ditarik dan diikat bisa dibuat tak berdaya olehnya. Disamping itu, keempat hal di atas juga sama-sama kompleks, sangat pragmatis, pilihan-pilihannya terbatas dan sama-sama harus ada keputusan yang tegas dalam menyikapinya. Sehingga tidak ada alasan bagi saya untuk memilah lalu kemudian memilih satu dari empat hal di atas. Pilihan saya ini sepenuhnya berangkat dari kesadaran akan realitas yang terjadi di lapangan, yang membuktikan bahwa dengan uang, orang bisa memperoleh kekuasaan dan wanita, begitupula dengan kekuasaan. Dengan kekuasaan, kita bisa mendapatkan uang dan wanita. Hanya saja, perlu kita ingat bahwa sebab wanita, uang dan kekuasaan bisa lenyap. Hal ini tidak kemudian mendaulat saya sebagai salah seorang yang memarginalkan dan memandang rendah kaum wanita, sebab saya paham betul bahwa wanita bukanlah salah satu makhluk Allah yang potensinya hanya bisa berbuat seperti itu. Saya juga mengakui bahwa saya lahir dari rahim seorang wanita yang agung. Wanita adalah makhluk yang mulia, terhormat dan bermartabat tinggi, yang oleh karena itu pulalah tidak ada alasan bagi wanita untuk merendahkan diri mereka sendiri atau—dengan ungkapan yang lebih ekstrem lagi—untuk menjadikan diri mereka hina di mata Allah swt.
Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana seorang Napoleon Bonaparte ditaklukkan oleh Margareth Yosepin, atau Kahlil Gibran, seorang sastrawan termasyhur pada zamannya, takluk di depan Selman Al-Karimi, atau Cleopatra yang berhasil menundukkan Julius Caesar, salah satu pemimpin besar bangsa Romawi. Kisah-kisah pasangan yang telah melegenda ini cukup menjadi representasi atas besarnya daya tarik seorang wanita, bahkan ia mampu menundukkan agresor-agresor penakluk bangsa-bangsa sekalipun. Mereka-merekalah dulu yang terkenal kebesaran namanya, tapi di depan seorang wanita, jiwa mereka pun sontak menjadi kerdil.
Namun, sekali lagi, kodrat wanita, bukanlah sebagai makhluk penggoda. Disisi lain, pada waktu yang bersamaan pula, di belakang seorang lelaki tangguh, pasti ada dua orang wanita atau minimal salah satu dari dua orang itu. Kedua sosok yang dimaksud adalah Ibu dan Istrinya. Sebagaimana bunyi salah satu pepatah Arab: “Perempuan Agung itu biasanya satu dari dua, atau dua-duanya sekaligus; sang Ibu dan atau sang Istri”. Ini membuktikan bahwa power supply seorang pemimpin besar, negarawan handal, pemikir ulung, bersumber dari Ibu dan istrinya. Maka tidak salah ketika Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata: “Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tetapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu”. Atau seperti ungkapan Sayyid Quthub: “Saya selamanya ingin menjadi bocah besar yang polos”, ketika ia mengenang saat-saat indah berada dipangkuan sang Ibu. Namun, beliau tidak pernah merasakan indahnya berada di pangkuan sang Istri, sebab syahid telah lebih dulu menjemputnya.
Adalah sebuah pengembaraan yang tiada henti, khususnya saya yang dalam posisi sebagai seorang lelaki, ketika ditodongkan sebuah pertanyaan “Apakah sebenarnya yang dirasakan oleh kaum hawa (wanita) ketika dari golongannyalah yang dijadikan sebagai salah satu kenikmatan-kenikmatan syurga (dalam hal ini bidadari yang telah banyak divisualisasikan dalam Al-quran). Apakah mereka merasa bangga atau malah sebaliknya?
Bagi kalangan feminis, hal tersebut merupakan salah satu bukti yang semakin menegaskan bahwa dalam Islam, wanita, tidak dianggap sebagai makhluk yang memiliki status dalam kehidupan.Wanita hanya sekedar pelengkap bagi eksistensi kehidupan lelaki di dunia. Mereka memandang penggambaraan bidadari dalam Al-quran sebagai bentuk “pengiming-imingan” atau mungkin sebuah “umpan” kepada laki-laki untuk semakin “rajin” beramal, karena yang dihadiahkan kepada mereka kelak adalah “perawan”. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Islam menempatkan wanita di tempat yang amat terhormat. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam di tengah-tengah bangsa Jahiliyah, salah satu gebrakan beliau adalah menghapus budaya Jahilayah yakni mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Rasulullah juga sampai menikahi banyak wanita (poligami) bukan karena faktor biologis semata, namun hal tersebut lebih didasari oleh jiwa sosial yang tinggi dan pemahaman mendalam akan perintah Allah swt. Beliau ingin menyelamatkan wanita-wanita yang beliau nikahi setelah mereka ditinggal oleh suami mereka. Kita tahu sendiri, dari beberapa wanita yang diperistri oleh Rasulullah hanya satu yang masih gadis, yang lainnya berstatus janda. Fakta ini lagi-lagi mementahkan anggapan bahwa Rasulullah ataukah ajaran Islam, mengajarkan bahwa Islam hanya memposisikan wanita sebagai sub-ordinat semata, tempat pelampiasan hawa nafsu, pelengkap hidup, aksesoris pajangan, iming-iming di surga, dan sebagainya. Tidak lebih dari itu.
Dan pada akhirnya, JANGANLAH BIARKAN BIDADARI ITU MENANGIS DI SANA...!! Salah satu penyebab mereka menangis saat ini adalah Laki-laki Muslim yang—sebenarnya—sudah dijanjikan oleh Allah swt kenikmatan-kenikmatan syurga berupa kenikmatan yang—sampai—imajinasi manusia pun tidak bisa membayangkannya apalagi menginderanya, namun mereka terlalu cepat mengambil jatahnya di dunia lewat jalur yang “tidak resmi”. Sepantasnyalah bagi kalian bidadari di dunia dan bidadari di akhirat. JANGAN BIARKAN MEREKA MENANGIS, sekali lagi JANGAN…!!!!
Kaliurang, di malam yang sejuk 25 Dzulqa’dah/
23 November 2008 M
23 November 2008 M
0 comments:
Posting Komentar